Tuesday, November 17, 2015

Sederhana Saja

Suatu malam datang
Bersiasat dengan hitungan matematis tentang rumitnya hutang negara dan perkara politis yang tak pernah habis

Kita bertemu di antara laju kereta dan derit sengau roda
Tenggelam di antara wajah-wajah yang menunggu sebuah tiba

Kita begitu rumit memulai sebuah percakapan;
Kau pasti saja sedang menjelaga di antara lembar-lembar sastra
Sedang ku tentu sibuk melucuti gerik angin yang tercipta
Kau menikahi sunyi
Aku berkawan dengan kebisingan yang abadi

Ah, hujan memang selalu berhasil mengubahku menjadi melankoli
Sekaligus berupaya mempertemukan kita;
Aku akan berteduh lebih lama
malu-malu menangkap wajahmu melalui ekor mata yang selalu berjaga
Dan kau akan tertangkap sedang melumat adaku sepenuhnya

Ya, kita sudah terlalu lama berdampingan
Sekaligus berjarak dalam kebisuan

Sederhana saja
Mari mulai bercerita

Menggiring daksa yang lama berteduh pada lindap
Merangkai puisi dan senyap
Menerjemahkan debar yang diam-diam menyelinap

Bebas Merdeka

Berlari tak kenal lelah
Lantang bersuara tak takut salah
Jatuh, kemudian bangkit dengan lebih gagah
Ah, betapa anak-anak tak pernah merasa payah

Batasan nalar tak menjadi soal
Berimajinasi seliar karnaval
Walau sering dihardik “berandal!”
Masa bodo, mereka tercipta bebal

Adakah yang lebih indah dari kemerdekaan kanak-kanak;
Tak perlu bergincu,
Karena cemong omong kosong selalu menggemaskan dan lucu.
Tak perlu meramu gelagat,
Karena kebodohan – yang paling lengking sekalipun – selalu mengundang tawa sejagat

Si gendut, si ompong rambut sesikut, juga si hitam berkepang buntut,
tak pernah pusing perihal mana rok butut,
mana model sepatu paling yahud

Tiba-tiba si gendut terungkur
di sela permainan kuda tumbur
ke dalam lumpur
gara-gara melantur
semua pun tertawa dalam baur

Bagai menerjang sekat
Dunia itu kini hanya tinggal semat
tak lagi menyemburat
“Keparat!”
Sang remaja blingsat
“Mengapa semua kini angkuh dan palsu memekat?”

Ia meratapi hingga kedewasaan memeluk erat



(Kolaborasi Puisi Ketengan bersama Reza Rahmandito)

Bising

Semua menuntut hak
Meriuh decak
Bergumul adu congkak

Bising

Saling sikut
Masing-masing merasa paling patut
Komentar ketengan berubah carut
Semrawut!

Bising

Aku merindu rumah
Rindu teduhnya petuah
dari dua bilah bibirmu yang tak dijajah
Yang bersorai tak kenal lelah

Sandaran terbaik tanpa perlu berubah

Friday, October 9, 2015

Buku, Pesta, dan Cinta

Tiap sore, paling tidak dua kali dalam seminggu, aku berjalan menuju surga
Menapaki karpet keemasan laksana sepatu pesta
Berlatar hutan utopis dan gairah para remaja

Kau benar adanya
Hutan itu membisikkan sebuah mantra
Sesekali namamu mengiang di sana
Ditimpali kersik dari bermacam sabda

Mengingatkanku bahwa tak ada yang lebih mempesona dari kisah sang idealis
Menyuarakan tunas asmara dan geloranya yang perlahan tumbuh dari kata romantis

Kau paling mahir merapal asa dalam tumpukan buku
Kau yang paling lihai berdansa dalam jingkat-jingkat nakal dan keangkuhan masa lalu
Kau juga yang paling syahdu mereguk rasa di antara banyaknya pria yang menawarkan rindu dan cemburu

Kau kah itu,
Buku, pesta, dan cinta
masa mudaku?

Thursday, August 13, 2015

Sebuah Awal untuk Jeda yang Panjang

Begini, kali ini Aku sedang enggan berpuisi. Meski puisi memang satu-satunya cara untuk memanggilmu, Aku sungguh tak peduli. Jika kau benar punya hati, pada akhirnya Kau akan kembali.



Suatu pagi--di antara kelebat para kekasih, harap dan cemas yang saling tindih, juga reracau yang membuih--Aku menemukanmu di sela jeruji jendela. Terbelai tirai yang tiap pagi kubuka: Cara terbaik mengundang surya menandangkan berkas hangatnya ke dalam kamar. Tak seberapa besar, tapi selalu cukup untuk menaungi sifat kekanakanmu dan menghadapinya dengan sepenuh sabar. Meski begitu, tidak tiap saat Aku dibuatnya sebal, karena kerinduan justru lebih sering menjejal.

Lekat-lekat kupandangi senyum yang Kau persembahkan pagi itu; Manis putik sari, dingin udara melankoli. Temuan terdalam dari sanubari.

Tak ada celoteh penuh jenaka. Tidak juga berbincang-mereka ulang masa silam, terlebih meminta agar sepasang mata cognac ini setia memandangi garis halus yang semburat saat tawamu mencuat. Kau hanya bilang, bahwa rindu sedang hebat-hebatnya menyerang. Dan Kau memilih menyerah kalah. Pasrah.

Maka disinilah Kau berada. Sekadar melayangkan pandang pada paras yang menghiasi masa muda; Berjibaku dengan jadwal kuliah dan pementasan drama, mengurusi organisasi dari pagi sampai gila, berkutat dengan tugas tanpa mandat dari yang kacangan hingga level jumawa, lalu pada akhirnya lulus dengan dada membusung lengkap bertoga.

Jangan lagi percaya,” katamu sebelum akhirnya menutup perjumpaan singkat pagi itu.

Luka selalu punya cara membenamkan dirinya sendiri. Selamat pagi.”


Kita berdamai, lalu kau pergi.

Melepas pagi yang tak menyisakan sedikitpun melankoli.



Kali ini Aku sedang enggan berpuisi. Meski puisi memang satu-satunya cara untuk memanggilmu, Aku sungguh tak peduli. Jika kau benar punya hati, pada akhirnya Kau akan kembali.

Tuesday, June 16, 2015

Catatan Kerinduan #5

Selasa pertama di Januari
Mematuk lantai, berdansa elegi
Tidak matamu yang bergurat
Tidak juga rekah senyumnya yang semburat
Sendiri menari racau mengikuti putik-putik firasat

Ada rona melebam takluk
Pada rangkai kata yang membuat bunga-bunga tidurku gemelatuk
Pada pertemuan yang membuat gurau terbebas dari segala kikuk

Ada asa menyihir enggan
Pada selekat-lekatnya tatap yang menggetarkan
Juga pada lelucon-lelucon kehidupan

Namun kepulangan tetaplah sapa yang mendiami sela jarimu,
Tetaplah hangat di balik blus abu-abu kesukaanmu,
Juga kasih yang kau sentuhkan dalam doa malam yang kau ramu

Memeluk persimpangan
Menapaki teka-teki yang takdir tawarkan
Tak berarti rasa menyeluruh berpulang
Lantas membenamkan rindu pada muasal sarang

Laksana seberkas benderang

Datang



Lalu pergi sembarang

Tuesday, April 28, 2015

Prolog

Hujan jatuh perlahan
Merembesi tiap harap yang tertahan
Dan pada kata yang tak tersampaikan,
dititipkan sebuah pesan ; kerinduan

Malam kedatangan nyalang
Ditengarai hujan yang tak kunjung hilang
Ada makna di balik wajah itu ; pulang

Angin menyusup rintik
Ialah kau dan hujan yang sama-sama tahu bagaimana caranya menyimpan dan menyibak kenangan dalam pandora yang cantik
Tak peduli meski langit sedang sangat sarkastik
Bahwa segala tentang kita, begitu dingin dan mistik

Jika rindu diartikan kepulangan
Kemarilah bicara tentang penantian
Seperti murai yang mengabdi pada pagi dan rerimbunan
Seperti fajar keemasan, yang terjaga saat kota lahir sampai tiba sesak pencarian
Seperti jarak yang tak bertepi ; pengharapan



(Kolaborasi Puisi Ketengan Bersama Kenang Sukmo Ajie)

Saturday, April 18, 2015

Lelatu Hari Minggu

Pagi itu ada yang meletup
Sebuah kerinduan yang mengerjap dalam degup
Dikisahkan desau alam yang setia pada pagi dan udara merah jambu
Namamu disitu
Tertera tak berragu
Bergelayut pada wajah yang menantang masa lalu

Sore itu ada yang meletup
Di atas kemacetan Jakarta
Di bawah langit biru pucat menuju jingga
Seorang kawan mengisahkan carik-carik roman di antara reguk susu dingin hingga manisnya tak bersisa
Mungkin hanya pelipur lara
Mungkin juga mengandung doa
Ah, rupanya semesta mendengar dengan saksama

Malam itu ada yang meletup
Sebait sapa tanpa rasa gugup
Melesat. Mendesing. Berkilatan cahaya
Seolah rona memang diundang hadir ke udara
Untuk menjawab beragam terka

Saturday, March 28, 2015

Catatan Kerinduan #4

Tentang perkara dan perasaan yang mengantarkan kita pada sebuah pengakuan
Di bawah singut malam yang tak berkesudahan,
rindu dan pilu bertemu
Tak habis mengoceh tentang peliknya romansa;
mana yang berdansa, mana yang nelangsa

Tersesat dalam gamang di tengah perjalanan pulang
Menuju rumah berkelip kunang
Serta hangat yang takkan lekang
Yang dengan mesra menaungi segala puisi
Caci maupun puji

Mengamini sebuah keraguan di tengah persimpangan;
Halaman hatimu
Atau
Jiwanya

Waktu menebar asa
Segala melompat tergesa


Aku mati rasa

Sunday, February 22, 2015

Catatan Kerinduan #3

Dalam sebuah kerinduan yang tenang
Tanpa sungut menuntut nasib
untuk kisah yang telah lama dijunjung
Bersama cerca dan sanjung yang bebas tak dipasung

Kita, akhirnya menemui penghujung

Setelah ribuan musim tak terelakkan;
Diranggas kepiluan, didekap lembab cuaca kepayahan, dan rangkai-rangkai kata berpolutan
Hingga tercerabut dari jiwa yang semula bertaut
Menjadikan perpisahan sebagai sebuah keharusan

***

Kudengar reranting dedaunan yang koyak
Melucuti kembang-kembang romansa yang berserak
Menyeok lagu masa depan yang berubah jadi sumbang
Ditalun angin kering nan gersang

Mengiringi perjalanan beda arah yang pincang
Mencari naungan baru untuk sebuah makna yang hilang:



Pulang

Friday, January 30, 2015

Kepada. Tentang.

Ini adalah kali kedua bagi Saya membuat sebuah tulisan yang terinspirasi dari teman-teman semasa SMA. Setidaknya yang Saya posting. Sebelumya di 2013, bertepatan dengan empat tahun pasca kami (para siswi perempuan) menamai diri dengan “Envoletta”. Saya berani bertaruh bahwa setidaknya ada puluhan tulisan ketengan yang Saya tulis untuk mereka. Atau terinspirasi dari mereka. Karena kenangan di masa itu memang terlalu banyak. Bahkan Saya sempat berniat mengikutsertakan beberapa tulisan (dalam bentuk surat) ke sebuah forum penulis #KepadaTentang. Saya takut suatu hari menjadi pikun dan kenangan itu perlahan merabun. Maka ingatan indah tersebut harus segera diselamatkan. Surat itu kelak akan Saya beri judul:
Kepada Kalian yang Memiliki Tawa Sederhana, Tentang Masa Muda yang Begitu Mesra.
----------------------------------------------------------------------------------------------

Ini adalah sebuah pengakuan mengenai kerinduan dan ketidakberdayaan Saya mengucapkan terima kasih pada kalian. Satu persatu. Dulu kita muda, kini beranjak dewasa. Saya menemui diri Saya dalam wujud yang berbeda, menemukan rekanan-rekanan baru, menghidupi pola baru yang terkadang bisa jadi menjemu, dan juga kekasih-kekasih dengan beragam rayu. Tapi Saya selalu merasa pulang saat memangku kenangan tentang kalian. Yang dengan mudahnya terngiang hanya sesaat setelah Saya melucuti foto-foto masa SMA. Dan tulisan-tulisan selalu mengalir begitu saja. Seolah kata-kata syahdu memang meluap dan tumpah tepat kepada jiwa-jiwa yang sudah lama didamba.

SMAI Nurul Fikri Boarding School. Saya pun tak ingat, kapan pastinya Saya begitu mencintai tempat ini. Mencintai kalian. Mencintai tiap kenangan. Mencintai seseorang yang menjadi salah satu inspirasi terhebat untuk beberapa tulisan.
.  .  .

Tahun pertama. Bersama seorang perempuan cantik yang Saya anggap sebagai teman pertama di tempat ini, kami tak pernah berhenti menjejali diri dengan berbagai umpatan dan keluhan. Malam-malam menjadi begitu mengerikan; Membayangkan perempuan-perempuan seusia kami, di luar sana, dengan bebas bersolek, menikmati pergaulan muda-mudi masa kini, atau setidaknya terbebas dari hukuman jalan jongkok asrama - masjid karena tidak ikut sholat berjama’ah. Sedang kami terkurung dalam “Jilbab Sejengkal dari Sikut” dan “Area Cengkrama yang Hanya Sebatas Sekolah – Asrama”. Lalu kami berbagi keluh dan dunia yang sepertinya sama. Setiap hari menyulam umpat hingga membentuk sebuah pola.

Tidak ada yang istimewa. Penghiburan rasanya hanya sebatas angin sepoi basah yang membelai wajah saat sesekali Saya mencicipi sebuah bangku tua berkarat yang berkali dipulas cat biru agar tampak baru. Sambil berkeliling pandang mencari secerca keseruan yang mungkin dapat Saya lakukan. Tapi tak ada. Hanya desau dedaunan yang kerap menambah mahsyuk kerisauan. Sedang bayang tentang masa SMA adalah masa terindah, telah Saya kubur dalam-dalam. Bahkan sejak pertama kali Saya menjejaki tempat ini.

Sampai suatu pagi yang kaku datang. Saya menyuarakan sebuah protes. Dengan segenap kebosanan yang menggumpal. Sebal. Saya mendapati balasan. Sebuah perumpamaan luar biasa yang langsung tertuju hingga ke bulu mata. Tentang kapur dan intan yang terbuat dari senyawa yang sama, Carbon. Keduanya menjadi beda karena perbedaan waktu yang dilalui saat mendapatkan tekanan. Kapur hanya tahunan, sedang bisa mencapai sekian windu bagi intan.

Sejak pagi itu, Saya tak lagi sama.

        Selayak istilah reinkarnasi, mungkin kurang lebih itu yang Saya alami. Saya mulai menjalin percakapan, menemukan beberapa teman perempuan yang begitu menyenangkan dalam bersenda. Beberapa di antaranya bahkan sungguh luar biasa.
Dan secara bersamaan, dari kejauhan, ada sepasang mata yang diam-diam berbinar. Juga kerap menghimpun debar.
.  .  .

            Tahun kedua. Tahun paling menyenangkan sejagad raya. Saya begitu bergelora. Hari-hari terasa begitu menyenangkan. Saya dan beberapa teman kerap melakukan hal kampungan yang sangat kacangan; Berjoget - menyanyi dangdut sambil tertawa serasa kami takkan menjadi tua. Diimbangi suara pukulan galon yang tak beraturan. Seolah sedang melakukan tarian meminta hujan. Juga ramai-ramai mencicipi obat tetes mata yang luar biasa perihnya. Atau sekadar bertukar cerita tentang lelaki senasib di sebrang sana yang dikenali melalui jejaring sosial.
Pada langit-langit asrama yang kami titipkan doa dan pengharapan. Pada dinginnya lantai kamar yang menjadi saksi atas beragam pertanyaan dan keraguan. Pada tiap sudut ruangan.
Picisan putih abu-abu memang selalu jadi romansa yang didamba dan tak lekang dimakan usia.

            Aku terpaku. Semilir angin menggenapkan rinduku padamu. Dan Aku mulai cemburu pada rumput yang mengayun bersama. Juga bambu-bambu yang berdampingan begitu mesra.
.  .  .

                Tahun ketiga. Waktu rasanya terlalu buru-buru ingin menyelesaikan masa penuh makna ini. Rasanya belum ikhlas. Belum pantas. Belum waktunya untuk berakhir. Rasa-rasanya Saya masih ingin mengalami gugup saat diinterogasi tim kedisiplinan atau pada waktunya menyetor hafalan. Merasakan degup tak karuan saat diam-diam bertemu pandang dengan pemilik nama yang kerap dirapal dalam doa. Dirundung hangatnya pelukan dari seorang teman dan kata-kata halus yang sabar mengobati keracauan hati saat menuju penghabisan waktu. Sayup menderai doa yang merintih manja saat kerinduan sangat menghimpit. Atau indahnya rangkaian kata yang tersusun dalam ajakan menuju masjid.

            Atas nama kerlip-kemerlip masa lalu. Juga rajuk-merajuk yang terkurung dalam pendar kuning lampu kamar. Kutunaskan sebuah bunga rindu. Di halaman hatimu.
.  .  .

Kepada Kalian yang Memiliki Tawa Sederhana, Tentang Masa Muda yang Begitu Mesra,

Terima kasih tak bertepi, untuk masa muda yang bergelora.

Sunday, January 25, 2015

Catatan Kerinduan #2

Aku terbangun
Pada sebuah gigil yang tak asing
Berselimut sabda dan perkara yang tak sedikitpun terlupa
Meninggalkanmu sendiri dalam angan
Tanpa sebuah pelukan dan jabat tangan
Membawa kembali sebuah takdir dalam terka yang berantakan

Lamat-lamat kutelan wajahmu
Dari secangkir kerinduan yang pekat
Hitam tanpa karat
Menelan getir yang memutar babak-babak tak beraturan; Syair-syair, angin dingin yang berdesir, serta perasaan dan prasangka yang kerap mampir lalu mangkir

Kita menyatu. Menurutku.
Terserah saja bila untukmu semua telah menjadi saru
Tapi lengkung keemasan pada tiap malamku tetaplah sudut bibirmu

Inilah sebuah kerinduan yang pekat
Pahit.
Namun penuh pesona untuk tetap digamit

Saturday, January 3, 2015

Catatan Kerinduan #1

Aku melihatmu
Pada sebuah pesan yang dikirim melalui malam;
Wajahmu sepucat masa lalu
Senyum yang kau tawarkan bagai pagi berhujan yang kaku

Kau hadir di antara jerit bunga-bunga rekah
Membawa secangkir lelah dan rindu yang berdarah

Dua pasang mata kembali bertemu
Diam-diam saling melucuti ragu
Rasuk-merasuk pada mimpi yang tak henti melaju

Perlahan semesta memainkan lagu paling sendu
Bulan berubah merah jambu

Hening mencuat
Wajahmu menjadi hangat
Binar matamu menyergapi langit dalam bisu dan rindu yang pekat

Ya. Kau selalu diundang pulang
Oleh manisnya rintik hujan
Dan harum sumbang melodi kenangan

________________________//