Monday, November 24, 2014

Bunga Rindu

Bulan menahun. Lembar-lembar buku harian menguning dimakan waktu. Gambar pada sampul depannya mengabur. Menjadi saksi paling setia untuk nama yang selalu hadir pada tiap goresan pena.

Kutuliskan segenap rasa dan doa. Sebuah kebiasaan yang takkan mengerti makna jengah dan payah. Namamu masih saja tertera disana. Menggenapkan baris-baris kaku yang enggan sampai kepadamu.

Kita remaja, kini beranjak dewasa. Gelayut rindu pada purnama tak lantas jadi beda. Dirundung kenangan-kenangan yang tak pernah bosan dikecap dalam asa. Tidak sekalipun.

Isak rindu yang menjadi parau, mengurai babak demi babak yang hanya bisa didekap. Binar matamu ada disitu. Timbul-tenggelam di balik kepulan masa lalu. Terselip di antara racau pada malam-malamku yang sendu.

Kerelaan belum juga menyambangi beranda. Tapi mendung yang jatuh di matamu selalu mengetuk sanubari. Menyapa hatiku menjadi dingin dan sepi.

Atas nama kerlip-kemerlip masa lalu. Juga rajuk-merajuk yang terkurung dalam pendar kuning lampu kamar, kutunaskan sebuah bunga rindu.

Di halaman hatimu.

Sunday, October 26, 2014

Titipan pada Senja

Matahari belum jatuh, senja masih jauh
Rebahlah dulu di sisi dan mari merenda teduh
Bicara tentang seikat kembang dalam rasa yang luruh
Tentang tanya dan jawabnya yang tak pernah utuh
Sambil sesekali menyeruput sesal pada mimpi yang tak kunjung tunduh

Angin membelai mesra
Ditingkahi sayup harap pada eros jingga
Mengumbar kepul kenangan pada ranting-ranting jiwa

Detak berdansa
Meretas waktu, menggiringmu ditelan senja

Pulanglah kerinduan
Pada doa-doa yang bergumam perlahan
Pada pendar-padam penantian
Yang menggamit kesetiaan

Di Penghujung Malam

Di penghujung malam
Resah bergulat dengan temaram
Jutaan Kali
Enggan dicuri pagi

Kau dan aku masih beradu pandang
Membiarkan anjing melolong panjang
Untuk kemudian tinggalkan cinta yang disandang

Ah, mengapa sekarang?
Mengapa menyerah saat belum satupun pahit yang kita terjang
Mengapa tak biarkan dulu riuh angin menari lebih lama
Untuk kemudian bersiul dalam hembus penuh cinta
Mengapa tak menunggu hingga jingga melambai
Untuk kemudian pekatnya langit menenggelamkan kita pada kisah yang takkan selesai

Ah, mengapa disini?
Mengapa berhenti saat belum satupun kemegahan kita singgahi
Mengapa tak kau bawa saja raga ini menembus saga
Untuk kemudian bergradasi dan hilanglah segala dilema
Mengapa tak kau bawa saja raga ini menembus sang surya
Untuk kemudian terbakar pada pesona cahaya dan jadi terlalu berharga

Mengapa sekarang?
Mengapa disini?

Padahal aku selalu pulang
Saat hanya kau yang menyambangi

Kau Bercarik Kata

Kau adalah buku
Yang halamannya menyimpan pilu dan riak yang candu
Titiknya adalah muara dari segala pandang yang laju

Dalam diam, ada sabda pada tiap siku
Tempat dimana relung bebas menjelaga waktu
Menyesapi asa yang menjelujur bersama sendu

Kau adalah bercarik-carik kata
Anggun berbaris menyimpan makna
Menari dalam khidmat menguntai diorama

Kaulah helai-helai romansa
Yang takkan habis kurapal jadi rona
Yang tak henti mendulang imaji sang pujangga

Friday, September 12, 2014

Penutup

Sebuah permulaan yang merundung malu
Awan berarak teriring angin yang sendu
Diam-diam menyibak geliat asmara yang tersimpan di antara kau dan aku
........................................
Kata sudah habis
Tertelan ke dasar ragu tanpa bisa dikais
Keringnya cuaca menyusutkan kita hingga ke paling kerdil dan sinis
Khusyuk menjelaga kenisbian rasa yang sulit digubris
........................................
Mendadak sisa-sisa jadi begitu sia-sia
Dan rangkaian puisi ini telah sampai pada pusara
Sebuah penutup yang takkan habis diduga
Sebaris nama yang hanya bisa dilarungkan dalam doa

Sunday, May 4, 2014

Jika Muara dan Tuannya adalah Kau

Hai,
Senang mengenalmu
Senang mendengar cerca tanpa jeda yang bertaut di antara mimpi-mimpi jumawa
Ditemani secarik rasa yang entah apa namanya
Bersuguh gelas demi gelas terka yang bebas menari pada tiap sabda
Berdiskusi di bawah langit yang rona

Bahagia rasanya menggelar ribuan retorika
Tanpa paksa
Tanpa dikte yang huru-hara
Tanpa kehendak siapa
Sayang, tak bisa melenggang lebih lama
Persimpangan harus jua sampai pada muara
Relung harus jua sampai pada tuannya

Namun, jika purnama masih menerangi tanya
Dan kersik malam masih menyerukan sebuah nama
Disanalah daksa menemui maknanya

Tuesday, March 25, 2014

Kemari

Kau cantik
Senada pancar bulan yang teduh menenangkan
Purnamanya tak sempurna
Bergelayut rindu dan segala puja
Seperti eloknya paras sendu yang tergelar di wajahmu
Terbebas durja dan rona yang malu
Keduanya takkan tersapu perangai malam

Katamu, sewindu yang lalu

Kemari
Kemarilah
Berhentilah menyiksa diri dan rayu aku dengan sejuta puisi
Selayak kau takkan pergi dan mengembara seisi bumi

Kemari
Kemarilah
Datanglah dalam sekedipan mata
Maka akan kuhapus segala lara
Juga segenap masa lalu yang memenjara

Kemari
Kemarilah
Menjelmalah dalam tiap gugus doa yang selalu kubentang
Maka akan kuguratkan bait-bait kasih yang takkan henti bersarang
Yang takkan kalah meski cercaan waktu melintang-pukang

Kemari
Kemarilah
Sebelum hari-hariku jadi beku
Sebelum jiwaku tak lagi mengenalmu

Thursday, January 16, 2014

Meramai

Gemericik sisa hujan sore menetes pada gembur tanah
Mendendang dalam sungut tanpa petuah

Lamun mendiamkan jejak dalam jingga keemasan
Menyisakan tetes langit untuk malam
Denting jarum pada dinding
dan erang jangkrik-jangkrik di sudut halaman saling adu

Derap jantung memburu angin yang membawa resah
Susul-menyusul tak ingin sudah

Dingin menyusup dalam kersik
Memeluk hangatnya susu coklat yang enggan diteguk

Kata-kata lalu lalang menjadi kalimat
Mencuat minta diucap
Kalimat-kalimat saling singgung menjadi harap
Tersusun minta diserahkan pada langit
Dan harap-harap bermunculan menjadi payah
Menciut terbendung urung, tak tersampaikan
Terantuk di atas halaman sebuah buku harian yang terbuka
Belum juga sampai pada titiknya

Malam kian meramai

Pena merah jambu berkali diketuk bangunkan lamun yang tak ingin mereda
Tirai dan jerujinya bergesekkan
Mengantarkan dingin malam menjerat sesal yang mengudara
Tumpukan rindu bertebaran
Berantakan di atas khayal yang menjadi puing-puing diam
Berserakan pada harum kenang yang tinggal sesap

Dan pada sesal yang mendekam
Malam berhenti meramai