Sunday, July 14, 2013

Senja, Saksi Diorama

Sore itu, kita bertemu
Tak banyak semilir yang hadir, namun cukup sejuk membalut segala keresahan
Daun-daun flamboyan berjatuhan
Berhias harum rintik hujan
Di pikirku, ada tanya tak berujung yang menyangsikan
Di batinku, ada gumam panjang tak berkesudahan

Waktu, telah meniti pada saat
Kau hadir dalam senyum sederhana yang hangat
Membawa mimpi pada satu niat

Tak banyak cengkrama saat kita bersama
Membiarkan masing-masing berkutat dalam beragam tanya
Memaksa yang lain menerka-nerka
Menyusup dalam diam, mencari sebuah makna
Lalu bait indah itu hadir di antara

Kita kembali terdiam
Kembali bercakap dengan hati terdalam
Lalu khusyuk menjelaga rasa yang telah menyelam

Lalu kita, kau dan aku, menari dalam diorama
Berayun diiringi larik yang merona
Menyemai kasih pada mimpi yang kita jaga
Setia, meski senja berubah rupa

Wednesday, June 5, 2013

Level 4

Hidup terkadang seperti memainkan sebuah game. Melakukan perjalanan, melewati rintangan, berupaya agar musuh dapat ditaklukkan, mengumpulkan koin penambah kekuatan, menemukan karakter sebagai teman perjalanan, dan tujuan akhirnya adalah Sang Raja - dapat dikalahkan.

Dari level 1-6 dunia perkuliahan, gue sedang berada di level 4. So far, this level is my favorite. Perjalanan 6 bulan yang begitu mengesankan sekaligus penuh renungan.

Di level ini, gue menolak untuk melanjutkan sebuah hubungan yang memulainya saja penuh dengan retorika sana-sini, sangat bersungut.
Menemukan karakter yang bahkan senyumnya tak pantas disambut. Tapi dengan ketergesaan, malah menyunggingkan senyum merekah untuk kisah yang sama sekali tak patut.
Untuk pertama kalinya, tertunduk dalam kerumunan sajak yang selama ini dapat kubuat takluk.
Dan mematut penuh tanya dalam harap yang tak terwujud.

Ini bagian musuh.

Gue bisa saja diam sejenak sembari atur strategi, atau malah menyerahkan diri – memutuskan untuk mengakhiri permainan, melewatkan kemungkinan bertemu dengan berbagai karakter yang bisa jadi teman menyusuri perjalanan, berhenti mengumpulkan koin penambah kekuatan, dan menggugurkan kesempatan untuk mengalahkan Sang Raja.

Itu pilihan.

Akhirnya dengan improvisasi dan renungan sana-sini, I think I should to face it. Menyelesaikan permainan ini sampai selesai. Sampai level 6. 
Gue terus maju. Berupaya melupakan yang lalu-lalu.

Dalam perjalanan, gue bertemu dengan karakter heroik yang menjadikan dirinya sebagai pemandu dalam banyak hal. Secara bertahap menyadarkan bahwa kisah lalu yang tak patut, beragam diam yang carut, perlahan harus dibuat surut.
Menemukan karakter lain yang obrolan singkat antara kami adalah intermezzo sekaligus substansi yang sebaiknya sering dilakoni. Dengan semangat menyuarakan harap dan mimpi-mimpi yang berpadu dalam relevansi hidup dan imajinasi.
Dianugrahi posisi strategis dalam perhelatan besar dan sebuah misi.
Dan pundi-pundi lain yang seolah sedang mengisi tangki pendewasaan dalam diri.

Itu koin penambah kekuatan.

Level ini menyadarkan gue bahwa musuh dan koin penambah kekuatan akan selalu ada. Hadirnya beriringan, bisa jadi saling susul.
Musuh hadir sebagai teguran agar jangan terlalu lama terbahak dalam nuansa jumawa.
Koin penambah kekuatan hadir sebagai penopang agar jangan terlalu lama terkungkung dalam tanduhnya jiwa.
Keduanya hadir sebagai penyeimbang. Keduanya hadir agar tiap level kehidupan terasa selalu patut untuk diperjuangkan, untuk dimenangkan.

Kini, gue berada di penghujung level 4. Level pendewasaan. Didalamnya banyak gejolak yang perlu diselesaikan, kebahagiaan yang pantas dikisahkan, keputusan yang harus dipertanggungjawabkan, alur menyenangkan yang layak dipertahankan, serta sekarung cita-cita dan kesempatan yang patut diperjuangkan.

Gue berharap, koin-koin kekuatan yang sedang dikantongi, dapat dengan sukses mengantarkan pada singgasana Sang Raja dan mengalahkannya. Atau setidaknya, selalu bisa meyakinkan diri bahwa tiap level kehidupan, dalam bentuk apapun, selalu patut dijalani.

Untuk pendewasaan.

Sunday, May 12, 2013

Gelas Plastik dan Hati

Sore itu di sebuah coffee shop, Aku termenung. Gelas plastik berisi latte yang tak lagi penuh, telah diam menyeluruh. Membiarkanku dan segala tanya yang menyeruak menggaduh.
Berkerubung dalam akal yang tak lagi dapat berpagutan. Hanya tanya tanpa jawab yang bersahutan.
Batinku meneriakkan sebuah nama yang Aku sendiri tak dapat mengejanya. Menerawangi sebuah wajah, yang tak dapat Aku jelaga.
Begitu kosong. Namun untuk membuai rasa dalam sosok yang tak kunjung terjamah, dayaku terlalu lemah.
Begitu merindu. Namun untuk merengguh khayal dalam kisah baru, imajiku begitu sendu.
Entahlah...
Hati ini terlalu cepat menancapkan sekat. Membiarkan yang mungkin patut begitu saja terlewat.

Renung panjangku menggiring pada tegukan terakhir.
Gelas plastik kini kosong. Sama seperti birunya hati yang dibiarkan melolong. Terjebak harap dalam gelapnya lorong.
Tanpa kata, tanpa suara yang menyokong.

Gelas plastik dan hati, kini sama-sama tak terisi. Menyapih diam dalam tahtanya sendiri. Membiarkan siapa saja hadir menaungi. Ia tak terpaut waktu tuk datang dan pergi. Namun pada akhirnya, akan ada yang secara penuh mengisi, setelah berpuluh menyambangi.

Thursday, April 25, 2013

Tersekat

“Hai, apa kabar? Semuanya baik-baik saja, kan?”
Kalimat itu berulang kali kucoba tanyakan padamu. Namun tersekat. Terhalang ragu.
Beredar, kemudian hanya bergeming dalam pikirku.
Ya, mungkin Aku belum sepenuhnya berdamai dengan masa lalu. Aku tahu Kau tahu itu.
Aku masih saja mendiami masa lalu.
Enggan bangkit. Dan menggubris kenangan bersamamu memang sulit.
Saat kita duduk berhadapan dan saling tatap.
Meski tak banyak kata yang terucap.
Namun binar matamu sudah cukup.
Seolah kata memang tak perlu hadir untuk menjelaskan.

Kisah baru telah dengan tergesa menjemput. Beragam alur datang dengan rupa seolah patut.
Meski ragu, akhirnya Aku manggut. Menyetujui untuk masuk dan larut.
Awalnya kukira bisa lama terlarung dalam kisah baru. Awalnya.
Nyatanya kenangan masih saja bersungut. Menahan langkah dan menyisakan kalut.
Adakah kita kan kembali terpaut? Setelah kueja namamu dalam diam yang carut.

Dan deretan kata yang tersekat masih saja sama.
“Hai, apa kabar? Semuanya baik-baik saja, kan?”

Friday, March 29, 2013

Kala

Kau tak memilih kata. Yang kau tahu hanya kekuatan rasa. Kegundahan yang kau semai dalam beragam dilema, atau bahagia yang kau pelihara di atas bentangan cinta.
                Kau tak memilih alur. Yang kau ikuti adalah logika dan rasa yang membaur. Diujungnya mungkin ada sesal yang melebur, atau akhir dengan gempita yang membalur.
                Menjelagalah jiwamu dalam manusia yang beriak. Biarkan pikirmu tenang sejenak. Diam dan menunggu renungmu ada yang menyibak.
....................................
                Seseorang dari masa depan datang menyapa. Menyita fokusmu yang mengudara. Merangkul keras hatimu yang mulai kehilangan daya.
Kau tak memilih kata, tak juga memilih alur cerita.
Karena rasa telah tercipta.
Kala ia menyapa.

Thursday, March 21, 2013

Dengan Caramu

Kerelaanku terjawab sudah.

Berlayar dengan getir tak melawan arus, menyusuri lorong-lorong pengabdian yang menggaungkan namamu.

Ditemani kanal-kanal mimpi, aku terus mendayungi segala harap yang kau ciptakan. Mencoba menyibak tiap derai, menuju tempat bersandar.

Cemas dan bahagia yang kularung menjelma dalam bentangan langit saga. Mataku menengadah luas ke atas. Kusesapi dalam-dalam indahnya wajah surga. Mengulik tiap gumpalan cirrus yang perlahan menipis.

Kupejamkan mata, dan kubisikkan namamu...

Sedetik kemudian, hatiku berdesir dalam gemuruh kepak sayap yang menuju pulang. Langit tak lagi saga. Tak terpampang lagi wajah surga. Dan sang surya perlahan berhenti menjelaga dunia. Sedang aku dan getirku terus menuju muara, membiarkan arus yang membawa.

Aku mulai letih menggubris getir. Namun tetap saja kubiarkan arus membawaku pada muara bernama takdir.

Sayup-sayup kudengar pikirku berbisik.

“Menepilah, sandarkan perahumu pada semesta cahaya. Temukanlah bahagia disana. Rengguhlah cinta dengan caramu, dengan cara sederhana.

Karna kau, pantas mendapatkannya.”

Tuesday, March 12, 2013

Pagi Ini

10 Maret 2013

Rindu terlalu cepat menyapa saat kurasakan hangatnya mentari menyusupi dinding kamarku. Untuk kesekian kali, kubiarkan rindu erat-erat memelukku. Kurelakan kedua mata membelalak lebih awal saat kupandangi wajahmu.
Hangatnya mentari terus menyusup, kini menyeluruh mengelilingi sekitarku. Aku masih saja menggumami tentangmu.
Dari balik jendela kamar dan kenaifan rasa, kubiarkan babak demi babak perlahan terkuak. Tergelar sempurna mengawali hari. 
..............................
Tak seperti rindu-rindu terdahulu, kepingan rindu kali ini datang atas nama kerelaan.
..............................
Hangatnya mentari tak kubiarkan menyusupi hati. Meski rindu ingin lebih lama bercengkrama, kuantar ia menuju gerbang kenangan, pembatas antara kenyataan dan khayalan. Dan sebelum berpisah, kusematkan padanya sebuah sandi. Dengan itu, Ia bisa kapan saja menyambangi.

Mengikuti hangatnya mentari yang menyusupi dinding kamarku.

Seperti pagi ini.

Sunday, February 24, 2013

Konsep Buku Harian

   Aku begitu mengenal dirimu. Aku tahu betul bagaimana caramu tertawa, bagaimana kau sampaikan harapmu, bagaimana kau merapikan rambutmu, dan bagaimana kau mengisi hariku.
    Aku pernah sangat memelihara cinta. Ya, itulah saat hampir 2 tahun bersamamu. Meski diwarnai pula dengan beragam polemik, toh nyatanya aku mencintaimu. Bersamaan dengan tulisan ini, biarkan sejenak aku menyelami kisah indah itu. Biarkan sejenak air mataku tercurahkan untuk segala penyesalan. Hingga ku terlelap dan terbangun kembali dengan cerita baru.
Karena merindu, tak berarti enggan mengukir kisah baru. Karena mengingat, bukan berarti tak lagi memiliki tempat.


28 Juni 2011
.........
Menutup segala kisah di masa lalu
Melupakan segala rayu yang menjemu
Mencoba merajut singgasana baru
.........

8 Juli 2011
.........
Biarkan sejenak aku bermalam dengan tangis
Mendulang butir-butir yang kita titi dengan manis
Tak peduli meski berakhir dengan tragis
Karena rasa ini agaknya enggan untuk terkikis
Biarkan sejenak aku bercakap dengan kapas-kapas mimpi yang kucoba susun kembali
Mengumpulkan keping-keping asa yang senantiasa menyiksa diri
Mendulang harap dan mengimpikan kisah kita dapat utuh kembali
Dan satu lagi
Biarkan sejenak aku terlelap dalam romansa masa lalu
Menikmati buainya dan merasakan detik-detik penyesalan berlalu
Mendekapi bayangmu meski dalam semu
Karna hingga kini, hanya kau yang kumau

12 Juli 2011
Cinta ini sanggup kalahkan logika
Menari dan memenuhi segala rongga
Menyelinap di antara aorta
Dan menikam dengan segala pesona
Membuatku tak peduli akan segala
Adakah kau rasa yang sama?

3 Agustus 2011
Seperti berkutat pada kesedihan yang sama
Air mata yang meluap tak hentinya bersabda
Menyeruak tak tahu diri dan bercokol dengan segala luka
Membuat bibirku terkatup dan mengutuk tiada habisnya
Dengan segenap cemas dan luka
Aku harus rela

26 September 2011
Sudah sewindu sejak terakhir kupekikkan segala rona
Menorehkan segala asa dalam rasa yang menyala
Namun kini jelas berbeda
Dalam genggam, kau tak lagi ada
Dalam langkah, kau tak lagi serta
Namun dalam hati, kau selalu terbaca
Karena rasa ini, enggan berputus asa

28 September 2011
Berpuluh rindu yang kukecap saat terakhir kita bersama
Mendulangnya bagai imaji yang takkan pernah terjadi
Dan kini sapamu bertandang kembali
Menjamahi tiap relungku yang sepi
Adakah kau kan kembali?
Adakah kisah kita dapat terajut dengan pasti?
Adakah kau kan mengamini atas semua tanya ini?

26 November 2011
Dan sejak saat itu, kita tak pernah lagi satu
Saat sang waktu meringkik mnjadi saksi bisu
Atas segala akhir kisah yang kelabu
Walau dengan segala kepayahan kucoba hapus segala rasa
Dengan naifnya ia senantiasa bercokol dalam dada
Adakah kau rasa yang sama?
Adakah kau rasa rintihan pada tiap tawa?
Adakah kau rasa guratan pada tiap wacana?
Karena tetap saja, aku mencinta

23 April 2012
Kau dan Aku telah bersepakat untuk tak lagi satu
Menjerembabkan segala kisah dan membiarkan semua berlalu
Kita seolah berpacu
Berusaha merakit dan mendayung kisah baru
Aku berlari dan berkutat pada semesta yang menjemu
Saat kita tak lagi padu
Maafkan, aku merindu

30 Agustus 2012
Menggenggam pesonamu saat bersamaan menarik lirih tirai abu-abu, adalah sendu
Menyibak tiap derai kasih pada lembaran merah jambu, adalah syahdu
Meneguk tetes demi tetes alur kuyu pada tungkai-tungkai rapuh, adalah pilu
Semesta tak pernah lagi kenal kita
Hanya hati, muara dari segala rasa yang berbicara
Menyuarakan nada-nada romansa
Melantunkan beragam dilema
Sementara detakku, detakmu, terus melaju
Menyemai babak demi babak setahun yang lalu
Dan sedetik kemudian, aku termangu
Haruskah kusetia menunggu?
Atau memang aku, yang dungu?

28 Januari 2013
Sukmaku mengerang saat rindu itu kembali terkenang
Cinta yang dikisahkan dalam romansa yang tak mengarang
Tetap sama indahnya, dulu dan sekarang
Tiap tatap yang bertemu
Tiap jemari yang menyatu
Tiap langkah beriringan yang berpadu
Tiap itu juga firasatku mengatakan, aku mencintaimu

Friday, February 22, 2013

Maaf yang Belum Terucap

                   Maaf atas kebersamaan yang terlalu singkat. Maaf atas cara yang tak pantas untuk meninggalkan jejak. Maaf atas segala asa yang kiranya harus berhenti berdecak. Dan untaian maaf lainnya yang belum terucap.
                Aku percaya bahwa selalu ada alasan pada tiap pertemuan. Begitu pula dengan pelajaran pada setiap perpisahan.

15 Desember 2012
Entah memang cinta, atau sandiwara
Seolah tiap dentum hanya berisi problema
Didesingkan kata rindu dan segala puja
Menyuarakan harap seolah tiada nestapa
Entah memang cinta, atau sandiwara
Yang dalam lontaran selalu rona asmara
Bergidik tanpa telisik
Menggubris hati yang berbisik
Sedang kau dan cemasmu seolah tak terusik
Entah memang cinta, atau sandiwara
Ditemalikan cinta yang dirawat
Namun kini hilang nyaris sekarat
Bukan, bukan jiwanya yang tepat
Namun waktuku yang mungkin tak lagi bermandat