Thursday, June 29, 2017

Surat Cinta dari Jogja

Hai kamu. Iya kamu, yang menjadi inspirasi tulisan ini. Langsung saja, aku rindu. Sering aku larut dalam tawa sendiri, yang berujung sendu karena mengingat bagaimana akrabnya kita dulu. Karena jarak, banyak hal yang kupikir berujung terang, perlahan berubah pudar abu-abu. Untuk kalian para pembaca, tenang saja, tulisan ini bukan tentang cinta. Apa yang akan kalian cerna adalah rasa sayang yang sekitar setahun belakangan menyumbat dan bikin sesak dada. Ayolah, tidak hanya cinta remaja kan yang membuat kalian tertarik? Mari kita samakan persepsi, agar pembahasan cinta tak hanya berhenti di satu titik.

Kembali ke topik. Pernah aku mengenal sesosok perempuan. Ya, saat itu ia belum jadi seorang wanita di pandanganku. Masih sama seperti remaja pada umunya, yang merona pipinya bila dipuji, dan salah tingkah bila aksi centilnya punya banyak saksi. Pertanyaan mulai muncul di otakku, apa ya yang membuatnya menarik?


Setelah lama memperhatikan dari jauh akhirnya ada kesempatan aku bisa berinteraksi dengannya. Dimulai dari kesukaan mengikuti organisasi, bertemulah kami di himpunan mahasiswa komunikasi. Terdengar klise, tapi ternyata ini yang membuatnya terlihat menonjol. Tak dihiraunya teman-teman lain yang terlalu asyik mengobrol. Menurut beberapa teman, dia ambisius, tapi menurutku dia serius. Serius menggapai cita-citanya, serius melangkah dan memastikan ia tidak salah dalam berpijak dan menentukan kanan dan kiri. Kami pun akrab. Mulutku yang terlalu banyak bicara, cocok dengannya yang sangat lihai bermain aksara. Sempat ada iri yang membuncah, setelah aku tahu ternyata ia sering mengikuti kompetisi puisi dan pernah berprestasi di tingkat nasional. Aku juga suka puisi, tapi apalah jika disandingkan dengan dirinya, lebih baik tidak usah. Kerendahan hatinya yang membuat aku semakin heran saat ia menawariku untuk bisa memulai karir bersama. Iya, karir. Seperti yang tadi kubilang, bahwa kesukaanku terhadap banyak hal ternyata membuatnya tak ragu mengajakku untuk bisa memandu sebuah acara. Dari situlah semuanya bermula. One thing leads to another, begitu mungkin yang biasa dibilang oleh bule bule Amerika.

Tak pernah dibayar, hanya berterimakasih karena bisa mengisi perut dengan nasi kotak lauk alakadarnya. Untuk pertama kali ia memberiku pengalaman untuk bisa berbicara dengan luwes, di depan banyak pasang mata, dan aku senang dibuatnya. Menjadi pembawa acara memang tidak mudah, mungkin kalian berpikir sebaliknya. Kalau disederhanakan, siapa diantara kalian yang selalu ingin maju lebih dulu saat harus presentasi dan menjelaskan tugas di depan kelas, mungkin hanya segelintir yang bernyali. Percayalah, bisa berdiri di depan banyak orang itu tidak gampang. Apalagi bicara, mungkin anda akan pusing atau tumbang. Dari sinilah kutemukan diriku yang sebenarnya, seutuhnya. Berbicara di atas panggung, tampil atau di depan kamera menjadi hal yang biasa. Persetan dengan semua kata orang, yang hanya bisa cuap tanpa tanggung jawab, mungkin anda salah satunya.

Hai kamu. Iya, masih tentang kamu. Aku lihat kamu sudah masuk ke lingkaran yang lebih besar. Hati-hati dalam dunia yang penuh bisa. Kini kamu adalah duta media, Aku tak mau kamu jadi seseorang yang berbeda. Doaku selalu menyertai. Tiap kuingat dirimu, kuingat juga betapa bawelnya saat kau tahu baju kita tak senada, atau celana ku terlihat terlalu tua. Ah, sungguh rindu ini terlalu hebat. “Tapi kamu harus kuat”, begitu selalu katamu supaya aku terus semangat. Disini aku bertarung dengan budaya yang tak bisa kutebak. Apa aku terlalu individualis? Pertanyaan itu sering mampir di hati yang berusaha untuk tidak menangis. Sudah lelah aku dengan sistem kerja yang loyo. Projek bermodal terimakasih juga sudah aku ladeni, tapi mau sampai kapan? Aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk bisa bertahan, bukan berharap pujian, tapi tiap orang punya batas sabar utntuk mendengar cacian. Ingin sekali aku kembalikan apa yang mereka katakan dengan tinju dan pukulan. Memang, aku bukan pribadi yang penuh kekerasan, tapi sesekali rasanya perlu memberitahu kalau aku juga bisa kasih pelajaran.

Aku rindu buku, pesta dan cinta. Aku rindu veritas prohitas iustisia, Aku rindu sepanggung berdua. Aku rindu cengkrama sebelum maju ke menghibur massa. Aku rindu kita. Aku ingat bagaimana awalnya, kita mungkin terlihat rendah karena terlalu jual diri. Sangat tidak malu menawarkan jasa ke siapapun yang punya acara. Selipkan promosi sana sini agar bisa lanjut dapat amplop yang berisi. Lucu juga jika diingat bagaimana dulu kita mengais pundi pundi yang selalu cepat habis. Memang bukan di rupiah, tapi di kesempatan untuk tampil kita akan tersenyum sumringah. Biarlah, semuanya demi langkah ke panggung yang fantastis. Kuharap kau juga tak lupa untuk menyelipkan namaku dalam doa. “Sampai bertemu di panggung yang lebih besar”, iya, kita pasti bisa.  Mari sama-sama hadapi paradigma yang menjadi raja. Mari hiraukan wacana wacana yang tak membuat kita kemana-mana. Aku janji akan selalu di depan garis. Kita buktikan, bahwa rima ini takkan pernah habis.


- M. Afif Abdulhady