Ini adalah
kali kedua bagi Saya membuat sebuah tulisan yang terinspirasi dari teman-teman
semasa SMA. Setidaknya yang Saya posting.
Sebelumya di 2013, bertepatan dengan empat tahun pasca kami (para siswi
perempuan) menamai diri dengan “Envoletta”.
Saya berani bertaruh bahwa setidaknya ada puluhan tulisan ketengan yang
Saya tulis untuk mereka. Atau terinspirasi dari mereka. Karena kenangan di masa
itu memang terlalu banyak. Bahkan Saya sempat berniat mengikutsertakan beberapa tulisan
(dalam bentuk surat) ke sebuah forum penulis #KepadaTentang. Saya takut suatu hari menjadi pikun dan kenangan itu perlahan merabun. Maka ingatan indah tersebut harus segera diselamatkan. Surat itu kelak
akan Saya beri judul:
Kepada Kalian yang Memiliki Tawa Sederhana, Tentang Masa
Muda yang Begitu Mesra.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Ini adalah sebuah pengakuan mengenai
kerinduan dan ketidakberdayaan Saya mengucapkan terima kasih pada kalian. Satu
persatu. Dulu kita muda, kini beranjak dewasa. Saya menemui diri Saya dalam
wujud yang berbeda, menemukan rekanan-rekanan baru, menghidupi pola baru yang
terkadang bisa jadi menjemu, dan juga kekasih-kekasih dengan beragam rayu. Tapi
Saya selalu merasa pulang saat memangku kenangan tentang kalian. Yang dengan
mudahnya terngiang hanya sesaat setelah Saya melucuti foto-foto masa SMA. Dan
tulisan-tulisan selalu mengalir begitu saja. Seolah kata-kata syahdu memang
meluap dan tumpah tepat kepada jiwa-jiwa yang sudah lama didamba.
SMAI Nurul Fikri Boarding School. Saya pun tak ingat, kapan pastinya Saya begitu
mencintai tempat ini. Mencintai kalian. Mencintai tiap kenangan. Mencintai
seseorang yang menjadi salah satu inspirasi terhebat untuk beberapa tulisan.
. . .
Tahun pertama. Bersama seorang
perempuan cantik yang Saya anggap sebagai teman pertama di tempat ini, kami tak
pernah berhenti menjejali diri dengan berbagai umpatan dan keluhan. Malam-malam
menjadi begitu mengerikan; Membayangkan perempuan-perempuan seusia kami, di
luar sana, dengan bebas bersolek, menikmati pergaulan muda-mudi masa kini, atau
setidaknya terbebas dari hukuman jalan jongkok asrama - masjid karena
tidak ikut sholat berjama’ah. Sedang kami terkurung dalam “Jilbab Sejengkal
dari Sikut” dan “Area Cengkrama yang Hanya Sebatas Sekolah – Asrama”. Lalu kami
berbagi keluh dan dunia yang sepertinya sama. Setiap hari menyulam umpat hingga
membentuk sebuah pola.
Tidak ada yang istimewa. Penghiburan
rasanya hanya sebatas angin sepoi basah yang membelai wajah saat sesekali Saya
mencicipi sebuah bangku tua berkarat yang berkali dipulas cat biru agar tampak
baru. Sambil berkeliling pandang mencari secerca keseruan yang mungkin dapat Saya
lakukan. Tapi tak ada. Hanya desau dedaunan yang kerap menambah mahsyuk kerisauan.
Sedang bayang tentang masa SMA adalah masa terindah, telah Saya kubur
dalam-dalam. Bahkan sejak pertama kali Saya menjejaki tempat ini.
Sampai suatu pagi yang kaku datang. Saya
menyuarakan sebuah protes. Dengan segenap kebosanan yang menggumpal. Sebal. Saya
mendapati balasan. Sebuah perumpamaan luar biasa yang langsung tertuju hingga
ke bulu mata. Tentang kapur dan intan yang terbuat dari senyawa yang sama,
Carbon. Keduanya menjadi beda karena perbedaan waktu yang dilalui saat mendapatkan
tekanan. Kapur hanya tahunan, sedang bisa mencapai sekian windu bagi intan.
Sejak pagi itu, Saya tak lagi sama.
Selayak
istilah reinkarnasi, mungkin kurang lebih itu yang Saya alami. Saya mulai
menjalin percakapan, menemukan beberapa teman perempuan yang begitu
menyenangkan dalam bersenda. Beberapa di antaranya bahkan sungguh luar biasa.
Dan secara bersamaan, dari kejauhan, ada sepasang mata yang diam-diam berbinar. Juga kerap menghimpun debar.
Dan secara bersamaan, dari kejauhan, ada sepasang mata yang diam-diam berbinar. Juga kerap menghimpun debar.
. . .
Tahun kedua.
Tahun paling menyenangkan sejagad raya. Saya begitu bergelora. Hari-hari terasa
begitu menyenangkan. Saya dan beberapa teman kerap melakukan hal kampungan yang
sangat kacangan; Berjoget - menyanyi dangdut sambil tertawa serasa kami takkan
menjadi tua. Diimbangi suara pukulan galon yang tak beraturan. Seolah sedang melakukan tarian meminta hujan. Juga ramai-ramai mencicipi obat tetes
mata yang luar biasa perihnya. Atau sekadar bertukar cerita tentang lelaki
senasib di sebrang sana yang dikenali melalui jejaring sosial.
Pada langit-langit asrama yang kami titipkan doa dan pengharapan. Pada dinginnya lantai kamar yang menjadi saksi atas beragam pertanyaan dan keraguan. Pada tiap sudut ruangan.
Picisan putih abu-abu memang selalu jadi romansa yang didamba dan tak lekang dimakan usia.
Pada langit-langit asrama yang kami titipkan doa dan pengharapan. Pada dinginnya lantai kamar yang menjadi saksi atas beragam pertanyaan dan keraguan. Pada tiap sudut ruangan.
Picisan putih abu-abu memang selalu jadi romansa yang didamba dan tak lekang dimakan usia.
Aku terpaku. Semilir angin menggenapkan rinduku padamu. Dan Aku mulai
cemburu pada rumput yang mengayun bersama. Juga bambu-bambu yang berdampingan
begitu mesra.
. . .
Tahun ketiga. Waktu rasanya terlalu buru-buru ingin menyelesaikan masa penuh
makna ini. Rasanya belum ikhlas. Belum pantas. Belum waktunya untuk berakhir.
Rasa-rasanya Saya masih ingin mengalami gugup saat diinterogasi tim
kedisiplinan atau pada waktunya menyetor hafalan. Merasakan degup tak karuan saat
diam-diam bertemu pandang dengan pemilik nama yang kerap dirapal dalam doa. Dirundung hangatnya pelukan dari seorang teman dan kata-kata halus yang sabar mengobati keracauan
hati saat menuju penghabisan waktu. Sayup menderai doa yang merintih manja saat kerinduan sangat menghimpit. Atau indahnya rangkaian kata yang tersusun
dalam ajakan menuju masjid.
Atas nama kerlip-kemerlip masa lalu. Juga rajuk-merajuk yang terkurung
dalam pendar kuning lampu kamar. Kutunaskan sebuah bunga rindu. Di halaman
hatimu.
. . .
Kepada Kalian yang Memiliki Tawa Sederhana, Tentang Masa Muda
yang Begitu Mesra,
Terima kasih tak bertepi, untuk masa muda yang bergelora.