Friday, January 30, 2015

Kepada. Tentang.

Ini adalah kali kedua bagi Saya membuat sebuah tulisan yang terinspirasi dari teman-teman semasa SMA. Setidaknya yang Saya posting. Sebelumya di 2013, bertepatan dengan empat tahun pasca kami (para siswi perempuan) menamai diri dengan “Envoletta”. Saya berani bertaruh bahwa setidaknya ada puluhan tulisan ketengan yang Saya tulis untuk mereka. Atau terinspirasi dari mereka. Karena kenangan di masa itu memang terlalu banyak. Bahkan Saya sempat berniat mengikutsertakan beberapa tulisan (dalam bentuk surat) ke sebuah forum penulis #KepadaTentang. Saya takut suatu hari menjadi pikun dan kenangan itu perlahan merabun. Maka ingatan indah tersebut harus segera diselamatkan. Surat itu kelak akan Saya beri judul:
Kepada Kalian yang Memiliki Tawa Sederhana, Tentang Masa Muda yang Begitu Mesra.
----------------------------------------------------------------------------------------------

Ini adalah sebuah pengakuan mengenai kerinduan dan ketidakberdayaan Saya mengucapkan terima kasih pada kalian. Satu persatu. Dulu kita muda, kini beranjak dewasa. Saya menemui diri Saya dalam wujud yang berbeda, menemukan rekanan-rekanan baru, menghidupi pola baru yang terkadang bisa jadi menjemu, dan juga kekasih-kekasih dengan beragam rayu. Tapi Saya selalu merasa pulang saat memangku kenangan tentang kalian. Yang dengan mudahnya terngiang hanya sesaat setelah Saya melucuti foto-foto masa SMA. Dan tulisan-tulisan selalu mengalir begitu saja. Seolah kata-kata syahdu memang meluap dan tumpah tepat kepada jiwa-jiwa yang sudah lama didamba.

SMAI Nurul Fikri Boarding School. Saya pun tak ingat, kapan pastinya Saya begitu mencintai tempat ini. Mencintai kalian. Mencintai tiap kenangan. Mencintai seseorang yang menjadi salah satu inspirasi terhebat untuk beberapa tulisan.
.  .  .

Tahun pertama. Bersama seorang perempuan cantik yang Saya anggap sebagai teman pertama di tempat ini, kami tak pernah berhenti menjejali diri dengan berbagai umpatan dan keluhan. Malam-malam menjadi begitu mengerikan; Membayangkan perempuan-perempuan seusia kami, di luar sana, dengan bebas bersolek, menikmati pergaulan muda-mudi masa kini, atau setidaknya terbebas dari hukuman jalan jongkok asrama - masjid karena tidak ikut sholat berjama’ah. Sedang kami terkurung dalam “Jilbab Sejengkal dari Sikut” dan “Area Cengkrama yang Hanya Sebatas Sekolah – Asrama”. Lalu kami berbagi keluh dan dunia yang sepertinya sama. Setiap hari menyulam umpat hingga membentuk sebuah pola.

Tidak ada yang istimewa. Penghiburan rasanya hanya sebatas angin sepoi basah yang membelai wajah saat sesekali Saya mencicipi sebuah bangku tua berkarat yang berkali dipulas cat biru agar tampak baru. Sambil berkeliling pandang mencari secerca keseruan yang mungkin dapat Saya lakukan. Tapi tak ada. Hanya desau dedaunan yang kerap menambah mahsyuk kerisauan. Sedang bayang tentang masa SMA adalah masa terindah, telah Saya kubur dalam-dalam. Bahkan sejak pertama kali Saya menjejaki tempat ini.

Sampai suatu pagi yang kaku datang. Saya menyuarakan sebuah protes. Dengan segenap kebosanan yang menggumpal. Sebal. Saya mendapati balasan. Sebuah perumpamaan luar biasa yang langsung tertuju hingga ke bulu mata. Tentang kapur dan intan yang terbuat dari senyawa yang sama, Carbon. Keduanya menjadi beda karena perbedaan waktu yang dilalui saat mendapatkan tekanan. Kapur hanya tahunan, sedang bisa mencapai sekian windu bagi intan.

Sejak pagi itu, Saya tak lagi sama.

        Selayak istilah reinkarnasi, mungkin kurang lebih itu yang Saya alami. Saya mulai menjalin percakapan, menemukan beberapa teman perempuan yang begitu menyenangkan dalam bersenda. Beberapa di antaranya bahkan sungguh luar biasa.
Dan secara bersamaan, dari kejauhan, ada sepasang mata yang diam-diam berbinar. Juga kerap menghimpun debar.
.  .  .

            Tahun kedua. Tahun paling menyenangkan sejagad raya. Saya begitu bergelora. Hari-hari terasa begitu menyenangkan. Saya dan beberapa teman kerap melakukan hal kampungan yang sangat kacangan; Berjoget - menyanyi dangdut sambil tertawa serasa kami takkan menjadi tua. Diimbangi suara pukulan galon yang tak beraturan. Seolah sedang melakukan tarian meminta hujan. Juga ramai-ramai mencicipi obat tetes mata yang luar biasa perihnya. Atau sekadar bertukar cerita tentang lelaki senasib di sebrang sana yang dikenali melalui jejaring sosial.
Pada langit-langit asrama yang kami titipkan doa dan pengharapan. Pada dinginnya lantai kamar yang menjadi saksi atas beragam pertanyaan dan keraguan. Pada tiap sudut ruangan.
Picisan putih abu-abu memang selalu jadi romansa yang didamba dan tak lekang dimakan usia.

            Aku terpaku. Semilir angin menggenapkan rinduku padamu. Dan Aku mulai cemburu pada rumput yang mengayun bersama. Juga bambu-bambu yang berdampingan begitu mesra.
.  .  .

                Tahun ketiga. Waktu rasanya terlalu buru-buru ingin menyelesaikan masa penuh makna ini. Rasanya belum ikhlas. Belum pantas. Belum waktunya untuk berakhir. Rasa-rasanya Saya masih ingin mengalami gugup saat diinterogasi tim kedisiplinan atau pada waktunya menyetor hafalan. Merasakan degup tak karuan saat diam-diam bertemu pandang dengan pemilik nama yang kerap dirapal dalam doa. Dirundung hangatnya pelukan dari seorang teman dan kata-kata halus yang sabar mengobati keracauan hati saat menuju penghabisan waktu. Sayup menderai doa yang merintih manja saat kerinduan sangat menghimpit. Atau indahnya rangkaian kata yang tersusun dalam ajakan menuju masjid.

            Atas nama kerlip-kemerlip masa lalu. Juga rajuk-merajuk yang terkurung dalam pendar kuning lampu kamar. Kutunaskan sebuah bunga rindu. Di halaman hatimu.
.  .  .

Kepada Kalian yang Memiliki Tawa Sederhana, Tentang Masa Muda yang Begitu Mesra,

Terima kasih tak bertepi, untuk masa muda yang bergelora.

Sunday, January 25, 2015

Catatan Kerinduan #2

Aku terbangun
Pada sebuah gigil yang tak asing
Berselimut sabda dan perkara yang tak sedikitpun terlupa
Meninggalkanmu sendiri dalam angan
Tanpa sebuah pelukan dan jabat tangan
Membawa kembali sebuah takdir dalam terka yang berantakan

Lamat-lamat kutelan wajahmu
Dari secangkir kerinduan yang pekat
Hitam tanpa karat
Menelan getir yang memutar babak-babak tak beraturan; Syair-syair, angin dingin yang berdesir, serta perasaan dan prasangka yang kerap mampir lalu mangkir

Kita menyatu. Menurutku.
Terserah saja bila untukmu semua telah menjadi saru
Tapi lengkung keemasan pada tiap malamku tetaplah sudut bibirmu

Inilah sebuah kerinduan yang pekat
Pahit.
Namun penuh pesona untuk tetap digamit

Saturday, January 3, 2015

Catatan Kerinduan #1

Aku melihatmu
Pada sebuah pesan yang dikirim melalui malam;
Wajahmu sepucat masa lalu
Senyum yang kau tawarkan bagai pagi berhujan yang kaku

Kau hadir di antara jerit bunga-bunga rekah
Membawa secangkir lelah dan rindu yang berdarah

Dua pasang mata kembali bertemu
Diam-diam saling melucuti ragu
Rasuk-merasuk pada mimpi yang tak henti melaju

Perlahan semesta memainkan lagu paling sendu
Bulan berubah merah jambu

Hening mencuat
Wajahmu menjadi hangat
Binar matamu menyergapi langit dalam bisu dan rindu yang pekat

Ya. Kau selalu diundang pulang
Oleh manisnya rintik hujan
Dan harum sumbang melodi kenangan

________________________//