Wednesday, November 30, 2016

Rumah Bagi Jiwa

Kelak akan kita tempati sebuah rumah yang dibangun oleh teduhnya sepasang mata. Dinaungi perigi yang menampung mendung dari kecupan semesta pagi. Beratap cekung langit yang mendekap gugup dan sepi.

Di dalamnya akan kita habiskan hari dengan rayu dan diskusi. Mengudap bait-bait saduran hingga debat tak berkesudahan.
Membiarkan dinding-dinding menjadi tuli dan bisu atas lahirnya pelukan mesra yang takkan memudar hingga kita menjadi tua.

Atapnya julang. Dipenuhi mimpi yang kita rumuskan dengan nyalang;
Bagaimana caranya melucuti dunia tanpa perlu banyak muka, juga bagaimana caranya menertawakan diri sendiri dan menjadi ahli responsi.

Kita akan mensyukuri segala nikmat di atas lantai yang mengilat. Tempat kita bercermin dari langkah-langkah yang ringan dan berat.
Alas bagi rangkak bayi-bayi yang terlahir gempal dan tumbuh menjadi andal.

Waktu mengejap, mimpi berkeretap, dan kita terus saja saling tatap;
Kelak akan kita tempati sebuah rumah yang dibangun oleh teduhnya sepasang mata.

Sesajak untuk Kawan yang Hendak Menikah (Ashila Ramadhani)

Aku adalah pasir
pada tapak-tapak yang melangkah menuju entah;
kota yang sepi, pasar, karnaval,
juga jalan-jalan yang lantam dan tapal.
Kemudian menetap di dadamu; rumah bagi doa-doa yang rapal.

Aku adalah rembang pagi
Titik-titik doa yang basah;
menetes pada gembur tanah, lantai pekarangan rumah, juga pinus dan randu.
Kemudian menitik di kelopak matamu.

Dari Bangku Penumpang Bus Kota (2)

Sore ini penuh sekali
Isi kepala,
juga bus kota yang saya tumpangi;
ada bau kemeja bapak,
ada harum parfum imitasi yang sungguh menyengat,
ada lamun-lamun yang entah memikirkan gaji, kekasih, atau jemuran terguyur hujan

Di luar basah sekali
Ada bayi mengea yang tak jelas ingin tidur atau kedinginan
juga jalanan beraspal yang habis digilas rerupa tujuan pulang;
Masakan ibu,
kasur kapuk dalam losmen 4x4 yang cicilannya menunggak tiga bulan,
dekapan istri,
pelukan suami,
atau pipi gempal yang bergoyang menyerocosi banyak hal


Sore merembang
Jalanan makin terendam
Aku juga ingin pulang, menuju lapang
Tempatku mengeringkan pikiran-pikiran kusut yang lalu lalang: Kau

Kepada Bapak

Kepada Bapak, Zuhdi Aliuddin

Barangkali sebuah perjalanan adalah tempat terbaik untuk merenung.
Bertemu rindu-rindu yang mengerak, lamun-lamun yang seruak, juga rutuk-rutuk yang nyalak.
Sebab di antara kedalaman wajah-wajah itu, saya ingat bapak.

Telah bapak bangunkan rumah bagi raga saya;
Memberikan atap bagi pikiran yang dipenuhi angan-angan masa depan, menaungi protes-protes argumentatif dan semua kebodohan.
Sekolalah pertama yang mengajarkan saya agar menjadi bunga, sekaligus baja.

Telah bapak hidangkan doa-doa yang memagari anak-anak gadis dan perjaka.
Doa panjang yang bapak rapalkan saat langit berubah senja,
sambil menyebut nama saya lirih dalam sila.

Pak, doakan saya selalu. Temani saya hingga saya menemukan rumah bagi jiwa saya.
Berukar sunyi dan puisi pada gairah pagi, berkelakar di tengah malam hingga terpejam;
Tempat saya menghidupi masa depan, menjadi doa yang tiap senja bapak rapalkan.

Terima kasih, Pak. Bisa apa saya tanpa bapak?

Kepada Ibu

Kepada Ibu, Ermawati Rasyid

Di suatu sore yang tidak sewarna senja, saya begitu merindukan ibu. Meski sebelum berangkat telah saya hirup punggung tangan ibu dan telah ibu kecup kening saya.
Meski tiap hari telah ibu hidangkan cerita hangat nan sederhana, juga meski tiap malam telah ibu roncekan doa-doa penangkal petaka.

Saya rindu kulit ibu yang dingin dan menipis. Bersalur riput-riput sewarna akasia dan alga.
Saya rindu bilah bibir ibu yang pucat, yang tiap keluar rumah harus dipulaskan gincu agar terlihat seranum delima.
Saya rindu lengan ibu, jari-jari yang berbuku, juga sepasang kaki yang dikerumuni tahi lalat yang hampir tiap malam saya pijat hingga ibu lelap tidur oleh pengabdian yang tak seberapa.

Bu, saya menangis saat menulis surat ini. Deras sekali.
Sederas hujan di Bulan September pada sore yang sungguh semrawut;
Orang-orang saling sikut,
jalan-jalan berubah carut,
dan cibir-cibir saling sahut.

Saya sayang ibu, doakan langkah saya selalu.


Dari anak ketigamu, yang akan terus menjadi anak-anak;
Menggambar batu dan bunga-bunga,
melumat pasir dan kembang gula.

Yang selalu belajar bagaimana berkata-kata dan memaknai dunia,
Zerlinda Siswati Zuhdi

Dari Bangku Penumpang Bus Kota (1)

Hujan;

Ruas-ruas jalan nyalak
Pasar-pasar sesak
Rindu-rindu mengerak
Lamun-lamun seruak
Dosa-dosa mengelak

Warung Kopi dan Basa-basi

Bolehkah saya memesan meja untuk kita berdua?
Kecil saja,
yang penting cukup untuk meletakkan secangkir kopi
dan menumpahkan isi kepala

Sepertinya percakapan sederhana memang tercipta di warung-warung kopi
Di antara kepulan asap yang mengepung dan menjarahi pori-pori
Berkepulan tak tahu diri, mengerubungi basa-basi dan kalimat-kalimat prediksi

Barangkali kamu akan menyeruputi kopimu perlahan
Mengecap getirnya lamat-lamat
Membekap waktu agar tak bergerak maju
Sambil menawarkan pertanyaan-pertanyaan yang membentur ujung meja

Barangkali saya akan terus menghidangkan cerita
Tentang debu, akar pohon, semut dan gula-gula, sepasang mata
atau apa saja yang dapat memenuhi meja



Jika akhirnya surat ini berhasil mengundangmu, mari kita mulai.

“Bisakah saya memesan sedikit keberanian untuk kita berdua?
Sebab kita, saya dan kamu,


sepertinya terlalu takut untuk kembali bersuara.”

Saturday, July 2, 2016

Sebab, di luar Hujan

Aku ingin menangkupmu
Dalam semangkuk rindu
Mengirup uap hangat yang menguar cepat
Sebab, di luar hujan

Aku ingin melumatmu tak bersisa
Hingga ke tiap liuk dan geliat yang tercipta
Sebab, di luar hujan

Aku ingin menyeruputi derai yang menciptakan senyap
Mengobati riuh hasrat dengan kejap
Sebab, di luar hujan

Maka kemarilah,
Wahai indomie rebus soto ayam

Sebab, di luar hujan

...

Puisi dan Nama adalah Doa

Aku hendak menuliskan puisi romantis
Pada malam yang risau dan gugup
Sebab wajahmu tak tertelan oleh pekatnya malam: lampu-lampu padam
dan semua tubuh begitu khusyuk membunuh lelah dari asap knalpot dan setumpuk tuntutan di meja kerja
Kau mengerling tak kenal waktu
Menyusupi langit-langit kamar juga rak buku

Aku hendak menuliskan kisah utopis
Pada pagi yang berdebar dan malu
sebab hangat kedua lenganmu
menyatu dalam secangkir teh yang kuseruputi
Berkepulan dalam hirup yang mendulang lesung di pipi

Aku hendak menulis lagi di lain hari
kali ini bukan puisi
bukan juga utopia dari mimpi:


Sebaris namamu

Derit Roda dan Isi Kepala

(1)
Kita pulang
Meninggalkan ruang yang berjejal peluh dan wajah kuyu
Melewati rimbun semak, jalan setapak, juga ranting-ranting patah
yang melahirkan pengakuan dan puisi
menuju stasiun yang menyisakan lengang dan sepi

Yang ramai hanya derit barisan roda
barangkali juga isi kepala

(2)
 Kita pulang
Memanggul rindu dari balik punggung yang melintas
Memasuki peron yang menjaraki sapa dan tanda tanya

Berlaju memecah angin berdebu
Juga celah di antara tatap yang tak lagi bertemu

(3)
Kita pulang
Memalingkan wajah menuju entah
Membasuh malam
Meniduri pikiran-pikiran kusut

Mengurai waktu
lalu bersetia menunggu

Thursday, May 19, 2016

Puisi untuk Hari Puisi

Hari ini 67 tahun lalu,
Chairil wafat, sayang
ditimbun doa-doa penyelinap dalam sajak yang terucap

Ia lahir dari keringat susu yang mengandung makna pulang
Menjadikannya binatang jalang

Dibesarkan oleh pergolakan masa muda
oleh arogansi manusia-manusia papa
oleh kerisauan yang melahirkan kata-kata

Ia terus lahir
bersama surat-surat cinta yang mengisi kotak pos sewarna senja,
bersama harap yang dikepulkan ke langit sebagai penangkal petaka,
bersama malam yang menyelingkuhi langit pusara

Ia menikahi sunyi dan tak pernah mati
Menuliskan mantra-mantra patah hati
Menjejal hidup, mencari arti;

Mengekalkan diri dalam lembar-lembar puisi

Sunday, April 24, 2016

Beberapa Dugaan yang Terbit pada Malam Hari

Barangkali aku ketuk pada daun pintu
Bebunyian yang mengganggu malam sendu
juga dinanti jiwamu

Barangkali aku debu pada rak buku
Menumpuk di antara kalimat-kalimat gagu
mungkin juga doa dan mantra yang tak sampai kepadamu

Barangkali aku celah pada lantai kamarmu
Ruang muai saat umpat membelenggu
juga ladang tempat kau rebah tanpa ragu

Sebuah Surat Cinta yang Saya Kirim karena Susah Tidur

Ini bukan catatan kerinduan
Bukan renung-renung carut tak berkesudahan
Ini adalah babak baru yang dilahirkan oleh sepasang doa dan keyakinan

Aku mengenalmu tak sampai satu purnama
Singkat saja bagai sebaris wacana; Sebuah ajakan menuju lantai dansa
Tanpa seikat kembang atau janji janji sumbang
Tampa rayu dan igauan semu
Tanpa ambisi, tanpa tendensi

Kita menari di antara leletup rasa
Melingkupi semesta yang meruak rona

Menganaksungaikan aksara yang tak mengenal jemu

Kita dilumat waktu.

Kembang (dan Bagian-bagian dari Dirimu) yang Berwarna-warni

Kamu adalah jari kuning kemuning;
Tempatku menyelipkan cemas dan takut
Menangkupkan doa pada pagi terang nyalang.

Kamu adalah mata kanan berwarna sephia;
Kebahagiaan sederhana yang aku suka

Kamu adalah mata kiri merah jambu;
Tempatku mendaratkan malu

Kamu adalah punggung yang biru;
Tempatku bangun rumah
memeluk mimpi dan lelah



Kamu, rekah di halaman hatiku