Thursday, August 13, 2015

Sebuah Awal untuk Jeda yang Panjang

Begini, kali ini Aku sedang enggan berpuisi. Meski puisi memang satu-satunya cara untuk memanggilmu, Aku sungguh tak peduli. Jika kau benar punya hati, pada akhirnya Kau akan kembali.



Suatu pagi--di antara kelebat para kekasih, harap dan cemas yang saling tindih, juga reracau yang membuih--Aku menemukanmu di sela jeruji jendela. Terbelai tirai yang tiap pagi kubuka: Cara terbaik mengundang surya menandangkan berkas hangatnya ke dalam kamar. Tak seberapa besar, tapi selalu cukup untuk menaungi sifat kekanakanmu dan menghadapinya dengan sepenuh sabar. Meski begitu, tidak tiap saat Aku dibuatnya sebal, karena kerinduan justru lebih sering menjejal.

Lekat-lekat kupandangi senyum yang Kau persembahkan pagi itu; Manis putik sari, dingin udara melankoli. Temuan terdalam dari sanubari.

Tak ada celoteh penuh jenaka. Tidak juga berbincang-mereka ulang masa silam, terlebih meminta agar sepasang mata cognac ini setia memandangi garis halus yang semburat saat tawamu mencuat. Kau hanya bilang, bahwa rindu sedang hebat-hebatnya menyerang. Dan Kau memilih menyerah kalah. Pasrah.

Maka disinilah Kau berada. Sekadar melayangkan pandang pada paras yang menghiasi masa muda; Berjibaku dengan jadwal kuliah dan pementasan drama, mengurusi organisasi dari pagi sampai gila, berkutat dengan tugas tanpa mandat dari yang kacangan hingga level jumawa, lalu pada akhirnya lulus dengan dada membusung lengkap bertoga.

Jangan lagi percaya,” katamu sebelum akhirnya menutup perjumpaan singkat pagi itu.

Luka selalu punya cara membenamkan dirinya sendiri. Selamat pagi.”


Kita berdamai, lalu kau pergi.

Melepas pagi yang tak menyisakan sedikitpun melankoli.



Kali ini Aku sedang enggan berpuisi. Meski puisi memang satu-satunya cara untuk memanggilmu, Aku sungguh tak peduli. Jika kau benar punya hati, pada akhirnya Kau akan kembali.