Begini, kali ini Aku sedang enggan
berpuisi. Meski puisi memang satu-satunya cara untuk memanggilmu, Aku
sungguh tak peduli. Jika kau benar punya hati, pada akhirnya Kau akan kembali.
Suatu pagi--di antara kelebat
para kekasih, harap dan cemas yang saling tindih, juga reracau yang membuih--Aku
menemukanmu di sela jeruji jendela. Terbelai tirai yang tiap pagi kubuka: Cara
terbaik mengundang surya menandangkan berkas hangatnya ke dalam kamar. Tak
seberapa besar, tapi selalu cukup untuk menaungi sifat kekanakanmu dan
menghadapinya dengan sepenuh sabar. Meski begitu, tidak tiap saat Aku dibuatnya sebal, karena kerinduan justru lebih sering menjejal.
Lekat-lekat
kupandangi senyum yang Kau persembahkan pagi itu; Manis putik sari, dingin
udara melankoli. Temuan terdalam dari sanubari.
Tak
ada celoteh penuh jenaka. Tidak juga berbincang-mereka ulang masa silam, terlebih
meminta agar sepasang mata cognac ini
setia memandangi garis halus yang semburat saat tawamu mencuat. Kau hanya
bilang, bahwa rindu sedang hebat-hebatnya menyerang. Dan Kau memilih menyerah kalah.
Pasrah.
Maka
disinilah Kau berada. Sekadar melayangkan pandang pada paras yang menghiasi
masa muda; Berjibaku dengan jadwal kuliah dan pementasan drama, mengurusi organisasi dari pagi sampai gila, berkutat dengan tugas
tanpa mandat dari yang kacangan hingga level jumawa, lalu pada akhirnya lulus dengan dada
membusung lengkap bertoga.
”Jangan lagi percaya,” katamu sebelum
akhirnya menutup perjumpaan singkat pagi itu.
“Luka
selalu punya cara membenamkan dirinya sendiri. Selamat pagi.”
Kita
berdamai, lalu kau pergi.
Melepas
pagi yang tak menyisakan sedikitpun melankoli.
Kali ini Aku sedang enggan berpuisi. Meski puisi memang satu-satunya cara untuk memanggilmu, Aku sungguh tak peduli. Jika kau benar punya hati, pada akhirnya Kau akan kembali.