Sunday, October 26, 2014

Titipan pada Senja

Matahari belum jatuh, senja masih jauh
Rebahlah dulu di sisi dan mari merenda teduh
Bicara tentang seikat kembang dalam rasa yang luruh
Tentang tanya dan jawabnya yang tak pernah utuh
Sambil sesekali menyeruput sesal pada mimpi yang tak kunjung tunduh

Angin membelai mesra
Ditingkahi sayup harap pada eros jingga
Mengumbar kepul kenangan pada ranting-ranting jiwa

Detak berdansa
Meretas waktu, menggiringmu ditelan senja

Pulanglah kerinduan
Pada doa-doa yang bergumam perlahan
Pada pendar-padam penantian
Yang menggamit kesetiaan

Di Penghujung Malam

Di penghujung malam
Resah bergulat dengan temaram
Jutaan Kali
Enggan dicuri pagi

Kau dan aku masih beradu pandang
Membiarkan anjing melolong panjang
Untuk kemudian tinggalkan cinta yang disandang

Ah, mengapa sekarang?
Mengapa menyerah saat belum satupun pahit yang kita terjang
Mengapa tak biarkan dulu riuh angin menari lebih lama
Untuk kemudian bersiul dalam hembus penuh cinta
Mengapa tak menunggu hingga jingga melambai
Untuk kemudian pekatnya langit menenggelamkan kita pada kisah yang takkan selesai

Ah, mengapa disini?
Mengapa berhenti saat belum satupun kemegahan kita singgahi
Mengapa tak kau bawa saja raga ini menembus saga
Untuk kemudian bergradasi dan hilanglah segala dilema
Mengapa tak kau bawa saja raga ini menembus sang surya
Untuk kemudian terbakar pada pesona cahaya dan jadi terlalu berharga

Mengapa sekarang?
Mengapa disini?

Padahal aku selalu pulang
Saat hanya kau yang menyambangi

Kau Bercarik Kata

Kau adalah buku
Yang halamannya menyimpan pilu dan riak yang candu
Titiknya adalah muara dari segala pandang yang laju

Dalam diam, ada sabda pada tiap siku
Tempat dimana relung bebas menjelaga waktu
Menyesapi asa yang menjelujur bersama sendu

Kau adalah bercarik-carik kata
Anggun berbaris menyimpan makna
Menari dalam khidmat menguntai diorama

Kaulah helai-helai romansa
Yang takkan habis kurapal jadi rona
Yang tak henti mendulang imaji sang pujangga