Berlayar dengan getir tak melawan
arus, menyusuri lorong-lorong pengabdian yang menggaungkan namamu.
Ditemani kanal-kanal mimpi, aku
terus mendayungi segala harap yang kau ciptakan. Mencoba menyibak tiap derai,
menuju tempat bersandar.
Cemas dan bahagia yang kularung
menjelma dalam bentangan langit saga. Mataku menengadah luas ke atas. Kusesapi dalam-dalam
indahnya wajah surga. Mengulik tiap gumpalan cirrus yang perlahan menipis.
Kupejamkan mata, dan kubisikkan
namamu...
Sedetik kemudian, hatiku berdesir
dalam gemuruh kepak sayap yang menuju pulang. Langit tak lagi saga. Tak terpampang
lagi wajah surga. Dan sang surya perlahan berhenti menjelaga dunia. Sedang aku
dan getirku terus menuju muara, membiarkan arus yang membawa.
Aku mulai letih menggubris getir.
Namun tetap saja kubiarkan arus membawaku pada muara bernama takdir.
Sayup-sayup kudengar pikirku
berbisik.
“Menepilah, sandarkan perahumu pada
semesta cahaya. Temukanlah bahagia disana. Rengguhlah cinta dengan caramu,
dengan cara sederhana.
Karna kau, pantas mendapatkannya.”
No comments:
Post a Comment