Hai
kamu. Iya kamu, yang menjadi inspirasi tulisan ini. Langsung saja, aku rindu.
Sering aku larut dalam tawa sendiri, yang berujung sendu karena mengingat
bagaimana akrabnya kita dulu. Karena jarak, banyak hal yang kupikir berujung
terang, perlahan berubah pudar abu-abu. Untuk kalian para pembaca, tenang saja,
tulisan ini bukan tentang cinta. Apa yang akan kalian cerna adalah rasa sayang
yang sekitar setahun belakangan menyumbat dan bikin sesak dada. Ayolah, tidak
hanya cinta remaja kan yang membuat kalian tertarik? Mari kita samakan
persepsi, agar pembahasan cinta tak hanya berhenti di satu titik.
Kembali ke topik. Pernah aku mengenal sesosok perempuan. Ya, saat itu ia belum jadi seorang wanita di pandanganku. Masih sama seperti remaja pada umunya, yang merona pipinya bila dipuji, dan salah tingkah bila aksi centilnya punya banyak saksi. Pertanyaan mulai muncul di otakku, apa ya yang membuatnya menarik?
Setelah
lama memperhatikan dari jauh akhirnya ada kesempatan aku bisa berinteraksi
dengannya. Dimulai dari kesukaan mengikuti organisasi, bertemulah kami di
himpunan mahasiswa komunikasi. Terdengar klise, tapi ternyata ini yang
membuatnya terlihat menonjol. Tak dihiraunya teman-teman lain yang terlalu
asyik mengobrol. Menurut beberapa teman, dia ambisius, tapi menurutku dia
serius. Serius menggapai cita-citanya, serius melangkah dan memastikan ia tidak
salah dalam berpijak dan menentukan kanan dan kiri. Kami pun akrab. Mulutku
yang terlalu banyak bicara, cocok dengannya yang sangat lihai bermain aksara. Sempat
ada iri yang membuncah, setelah aku tahu ternyata ia sering mengikuti kompetisi
puisi dan pernah berprestasi di tingkat nasional. Aku juga suka puisi, tapi
apalah jika disandingkan dengan dirinya, lebih baik tidak usah. Kerendahan
hatinya yang membuat aku semakin heran saat ia menawariku untuk bisa memulai
karir bersama. Iya, karir. Seperti yang tadi kubilang, bahwa kesukaanku
terhadap banyak hal ternyata membuatnya tak ragu mengajakku untuk bisa memandu
sebuah acara. Dari situlah semuanya bermula. One thing leads to another, begitu mungkin yang biasa dibilang oleh
bule bule Amerika.
Tak pernah
dibayar, hanya berterimakasih karena bisa mengisi perut dengan nasi kotak lauk
alakadarnya. Untuk pertama kali ia memberiku pengalaman untuk bisa berbicara
dengan luwes, di depan banyak pasang mata, dan aku senang dibuatnya. Menjadi
pembawa acara memang tidak mudah, mungkin kalian berpikir sebaliknya. Kalau
disederhanakan, siapa diantara kalian yang selalu ingin maju lebih dulu saat
harus presentasi dan menjelaskan tugas di depan kelas, mungkin hanya segelintir
yang bernyali. Percayalah, bisa berdiri di depan banyak orang itu tidak
gampang. Apalagi bicara, mungkin anda akan pusing atau tumbang. Dari sinilah
kutemukan diriku yang sebenarnya, seutuhnya. Berbicara di atas panggung, tampil
atau di depan kamera menjadi hal yang biasa. Persetan dengan semua kata orang,
yang hanya bisa cuap tanpa tanggung jawab, mungkin anda salah satunya.
Hai
kamu. Iya, masih tentang kamu. Aku lihat kamu sudah masuk ke lingkaran yang lebih
besar. Hati-hati dalam dunia yang penuh bisa. Kini kamu adalah duta media, Aku
tak mau kamu jadi seseorang yang berbeda. Doaku selalu menyertai. Tiap kuingat
dirimu, kuingat juga betapa bawelnya saat kau tahu baju kita tak senada, atau
celana ku terlihat terlalu tua. Ah, sungguh rindu ini terlalu hebat. “Tapi kamu
harus kuat”, begitu selalu katamu supaya aku terus semangat. Disini aku
bertarung dengan budaya yang tak bisa kutebak. Apa aku terlalu individualis?
Pertanyaan itu sering mampir di hati yang berusaha untuk tidak menangis. Sudah
lelah aku dengan sistem kerja yang loyo. Projek bermodal terimakasih juga sudah
aku ladeni, tapi mau sampai kapan? Aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk bisa
bertahan, bukan berharap pujian, tapi tiap orang punya batas sabar utntuk
mendengar cacian. Ingin sekali aku kembalikan apa yang mereka katakan dengan
tinju dan pukulan. Memang, aku bukan pribadi yang penuh kekerasan, tapi
sesekali rasanya perlu memberitahu kalau aku juga bisa kasih pelajaran.
Aku
rindu buku, pesta dan cinta. Aku rindu
veritas prohitas iustisia, Aku rindu sepanggung berdua. Aku rindu cengkrama
sebelum maju ke menghibur massa. Aku rindu kita. Aku
ingat bagaimana awalnya, kita mungkin terlihat rendah karena terlalu jual diri.
Sangat tidak malu menawarkan jasa ke siapapun yang punya acara. Selipkan
promosi sana sini agar bisa lanjut dapat amplop yang berisi. Lucu juga jika
diingat bagaimana dulu kita mengais pundi pundi yang selalu cepat habis. Memang
bukan di rupiah, tapi di kesempatan untuk tampil kita akan tersenyum sumringah.
Biarlah, semuanya demi langkah ke panggung yang fantastis. Kuharap kau juga tak
lupa untuk menyelipkan namaku dalam doa. “Sampai bertemu di panggung yang lebih
besar”, iya, kita pasti bisa. Mari
sama-sama hadapi paradigma yang menjadi raja. Mari hiraukan wacana wacana yang
tak membuat kita kemana-mana. Aku janji akan selalu di depan garis. Kita
buktikan, bahwa rima ini takkan pernah habis.
- M. Afif Abdulhady